Masjid
Raya Ganting sebelum memiliki dua menara sekitar tahun 1900–1923
-------------------------
Masjid
Raya Ganting (juga ditulis dan dilafalkan Gantiang dalam bahasa Minangkabau)
adalah sebuah masjid yang terletak di Kelurahan Ganting, Kecamatan Padang
Timur, Kota Padang, Sumatera Barat, Indonesia.
Mulai dibangun pada tahun 1805,
masjid ini tercatat sebagai masjid tertua di Padang dan salah satu yang tertua
di Indonesia serta telah menjadi cagar budaya.
Masjid
yang pembangunannya melibatkan beragam bangsa ini menjadi pusat pergerakan
reformasi Islam di daerah tersebut pada abad ke-19, dan presiden pertama
Indonesia, Soekarno, pernah mengungsi ke masjid ini pada masa perjuangan
kemerdekaan. Masjid ini termasuk bangunan yang tetap utuh setelah gelombang
tsunami menerjang kota Padang dan sekitarnya akibat gempa bumi tahun 1833,
walaupun mengalami kerusakan cukup berarti akibat gempa tahun 2005 dan 2009. Saat
ini, selain digunakan sebagai aktivitas ibadah umat Islam, masjid satu lantai
ini juga digunakan sebagai sarana pendidikan agama dan pesantren kilat bagi
pelajar serta menjadi salah satu daya tarik wisata di kota Padang.
Pembangunan
Tidak
diketahui pasti tahun berapa masjid ini mulai berdiri. Menurut Abdul Baqir Zein
dalam bukunya yang berjudul Masjid-masjid Bersejarah di Indonesia, masjid ini
telah berdiri sejak tahun 1700 dan pada mulanya terletak di kaki Gunung Padang,
kemudian dipindahkan ke tepi Batang Arau karena Belanda hendak membuat jalan ke
pelabuhan Teluk Bayur, hingga terakhir dipindahkan ke lokasi sekarang. Namun
demikian, dalam dokumen yang diterbitkan oleh Departemen Agama, disebutkan
masjid ini dibangun pada tahun 1790 dari bahan kayu dengan atap berbahan rumbia
dan masjid yang lebih baik lagi dibangun pada tahun 1805. Lain lagi menurut
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Padang, yang menyebut masjid ini mulai
dibangun pada tahun 1805 dan awalnya dikenal sebagai "Masjid Kampung
Gantiang" dengan bangunan berupa surau berlantaikan batu dengan dinding
berplester tanah dan atap berundak-undak.Terlepas dari perbedaan-perbedaan
mengenai tahun mulai berdirinya masjid ini, dari sejumlah catatan diketahui
bahwa pembangunan masjid di pusat Minangkabau di Padang abad ke-18 dan ke-19 ini
diprakarsai oleh tiga tokoh masyarakat setempat, yaitu Angku Gapuak (saudagar),
Angku Syekh Haji Uma (kepala kampung Ganting), dan Angku Syekh Kapalo Koto
(ulama), sementara biayanya banyak diperoleh dari para saudagar dan ulama Minangkabau
di sejumlah tempat di Sumatera. Masjid ini juga tercatat sebagai salah satu
bangunan yang tetap utuh dari terjangan gelombang tsunami yang merambah
sebagian besar Padang akibat gempa bumi Sumatera pada tahun 1833, hanya saja
lantai batunya kemudian diganti dengan lantai campuran kapur kulit kerang dan
batu apung.
Pada
tahun 1910, Belanda mendirikan pabrik semen di Indarung, Padang. Untuk
mentranspor semen ke Pelabuhan Teluk Bayur, Belanda membuka jalan batu melewati
tanah Masjid Raya Ganting. Hampir sepertiga dari luas tanah wakaf untuk masjid
ini digunakan untuk jalan. Sebagai kompensasi atas tanah tersebut, Belanda
membantu mengembangkan masjid ini melalui Komandan Korps Genie wilayah Pesisir
Barat Sumatera (wilayah yang meliputi Sumatera Barat dan Tapanuli sekarang). Pengembangan
yang dilakukan termasuk perpanjangan bilik muka sepanjang 20 meter dan
pembuatan bagian depan (fasad) masjid bergaya Portugis.Selain itu, lantai
masjid diganti dengan semen yang didatangkan dari Jerman. Pada tahun 1900,
dimulailah pemasangan tegel dari Belanda yang dipesan melalui NV Jacobson van
den Berg. Pemasangan tegel tersebut ditangani oleh tukang yang ditunjuk
langsung oleh pabrik dan selesai pada tahun 1910. Sementara itu, etnis Cina di
bawah komando Kapten Lo Chian Ko ikut mengerahkan tukang-tukang Cina untuk
mengerjakan kubah yang dibuat persegi delapan mirip atap vihara. Begitu juga,
pada mihrab tempat imam memimpin salat dan menyampaikan khotbah dibuat ukiran
kayu mirip ukiran Cina. Di bagian tengah masjid juga dibangun sebuah muzawir
berukuran 4 × 4 m² berbentuk panggung dari kayu dan diberi ukiran Cina. Muzawir
berfungsi sebagai tempat mengumandangkan adzan dan penyambung suara imam
sehingga makmum dapat mengikuti gerakan imam. Setelah ada pengeras suara,
muzawir tidak digunakan lagi sehingga pengurus masjid membongkar bangunan
tersebut pada tahun 1974. Setelah itu, pembangunan masjid dilanjutkan pada
tahun 1960 dengan pemasangan keramik pada 25 tiang ruang utama yang aslinya
terbuat dari batu bata. Kemudian, menara pada bagian kiri dan kanan masjid
selesai dibangun pada tahun 1967.Pada tahun 1995, dilakukan pemasangan keramik
pada dinding ruang utama.
Masjid
Raya Ganting pada Agustus 2012
------------------------
Garis
waktu
Masjid
Raya Ganting turut berperan dalam perjalanan sejarah Kota Padang. Selain
sebagai lokasi pengembangan Islam di pulau Sumatera, masjid ini juga berperan
dalam pergerakan perjuangan kemerdekaan di Padang. Sejak awal berdirinya,
masjid ini dimanfaatkan sebagai tempat bimbingan manasik calon haji.Masjid ini
juga menjadi tempat embarkasi haji pertama di Sumatera Tengah melalui Pelabuhan
Teluk Bayur yang dibuka pada tahun 1895.Sebelum berakhirnya perang Padri, pada
tahun 1918, para ulama di Minangkabau mengadakan pertemuan di Masjid Raya
Ganting untuk membahas langkah-langkah yang akan ditempuh dalam melaksanakan
pemurnian ajaran agama Islam dari pemahaman mistik dan khufarat. Pada tahun
1921, Abdul Karim Amrullah mendirikan sekolah Thawalib di dalam pekarangan
masjid sebagai sarana pendidikan agama bagi masyarakat kota Padang saat itu,
yang alumninya kemudian mendirikan Persatuan Muslim Indonesia (Permi) yang
merupakan cikal bakal Partai Masyumi. Masjid ini juga dijadikan lokasi jambore
nasional pertama gerakan kepanduan Muhammadiyah Hizbul Wathan pada tahun 1932. Ketika
Jepang mulai menduduki Indonesia pada tahun 1942, Soekarno yang ditahan Belanda
di Bengkulu diungsikan ke Kutacane. Namun, sesampainya di Painan, tentara
Jepang sudah lebih dahulu menduduki Bukittinggi sehingga Belanda mengubah
rencana semula dengan mengungsi ke Barus dan meninggalkan Soekarno di Painan.
Selanjutnya, Hizbul Wathan, yang saat itu bermarkas di Masjid Raya Ganting,
menjemput Soekarno untuk dibawa ke Padang dengan menggunakan pedati. Beberapa
hari kemudian, Soekarno yang telah tiba di Padang menginap sementara waktu di
salah satu rumah pengurus Masjid Raya Ganting dan sempat memberikan pidato di
masjid ini.
Selama
pendudukan tentara Jepang di Indonesia, masjid ini dijadikan sebagai markas
besar wilayah Sumatera Barat dan Tengah sekaligus tempat pembinaan prajurit
Gyugun dan Heiho, yang merupakan kesatuan tentara pribumi yang dibentuk oleh
Jepang. Anggota perwira militer Gyugun terdiri atas para ulama, sedangkan prajurit
Heiho diambil dari para santri.
Sebagian
kerusakan yang dialami Masjid Raya Ganting setelah gempa bumi tahun 2009
--------------------
Setelah
tentara Sekutu mendarat di Sumatera, banyak tentara Inggris dari kesatuan
tentara Muslim India membelot dan bergabung dengan tentara rakyat setempat.
Mereka mengatur strategi penyerangan dari masjid ini, termasuk penyerangan ke
salah satu tangsi militer Inggris dari kesatuan Gurkha.[20] Ketika seorang
prajurit Muslim itu tewas dalam perkelahian di markas militer yang hanya
berjarak 200 meter dari masjid, jenazahnya disemayamkan di Masjid Ganting. Sejak
tahun 1950, Masjid Raya Ganting mulai banyak dikunjungi oleh pejabat negara
baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Sejumlah pejabat negara yang pernah
berkunjung ke masjid ini, antara lain, adalah Wakil Presiden Mohammad Hatta,
Menteri Pertahanan Sultan Hamengkubuwana IX, Wakil Ketua DPR-GR Achmad Syaichu,
dan Ketua MPRS Abdul Haris Nasution. Sementara itu, tokoh luar negeri yang
pernah mengunjungi masjid ini, antara lain, adalah Sekretaris Negara Malaysia
serta pejabat dari Arab Saudi dan Mesir.
Pada
10 April 2005, terjadi gempa bumi di pantai barat Sumatera dengan kekuatan 6,7
skala Richter setelah terjadinya gempa bumi lebih besar di sekitar Pulau Nias
dua minggu sebelumnya. Sejumlah tiang penyangga utama kuda-kuda atap Masjid
Raya Ganting retak dan patah akibat gempa ini. Selanjutnya, masjid ini
merupakan salah satu dari 608 unit tempat ibadah di Sumatera Barat yang rusak
berat akibat gempa bumi 30 September 2009.Selain meruntuhkan sebagian fasad
masjid, gempa tersebut juga meretakkan tiang-tiang ruang utama sehingga
bangunan ini dikhawatirkan roboh. Sebelum dilakukan renovasi pada tahun 2010,
kerusakan yang dialami masjid ini menyebabkan aktivitas ibadah terganggu
sehingga, selama sementara waktu, aktivitas ibadah harus dilakukan di halaman
masjid. Pada tahun 2011, masjid ini dimasukkan dalam daftar masjid terindah di
Indonesia yang diterbitkan dalam buku 100 Masjid Terindah Indonesia oleh PT
Andalan Media. Selain Masjid Raya Ganting, masjid lain dari Sumatera Barat yang
dimuat dalam buku tersebut ialah Masjid Raya Bayur. Masjid ini berdiri di atas
tanah seluas 102 × 95,6 meter persegi dengan bangunan berbentuk persegi panjang
berukuran 42 × 39 meter persegi. Bangunan terdiri dari serambi muka, serambi
samping (kiri dan kanan), mihrab, dan ruang utama. Luas bangunan yang kurang
dari seperlima luas lahan menyisakan halaman yang luas yang dapat menampung
banyaknya jamaah pada saat pelaksanaan salat Ied pada hari Idul Fitri dan Idul
Adha. Halaman tersebut dipagari besi dan berbatasan langsung dengan jalan raya di
sebelah timur dan utara.Di sebelah selatan dan belakang masjid terdapat
beberapa makam, salah satunya adalah makam Angku Syekh Haji Uma, satu dari tiga
orang pemrakarsa pembangunan masjid ini.
Atap
tumpang Masjid Raya Ganting, seperti yang umum dimiliki masjid-masjid tua di
Nusantara
------------------------
Perpaduan
arsitektur dari berbagai corak terlihat jelas pada bangunan masjid ini karena
pengerjaannya melibatkan beragam bangsa seperti Eropa, Timur Tengah, Cina, dan
Minangkabau. Masjid ini memiliki tatanan atap berupa atap susun berundak-undak
sebanyak lima tingkat dengan puncak berkubah berhiaskan mustaka.Ada celah di
tiap bagian atap untuk pencahayaan. Tingkat pertama berbentuk persegi,
sedangkan tingkat dua sampai empat berbentuk segidelapan. Bangunan masjid ini
memiliki dua serambi utama, yaitu serambi samping dan serambi muka. Kedua
serambi samping masing-masing berukuran 30 × 4,5 meter persegi dan memiliki dua
pintu masuk, yang salah satu pintunya menuju ke tempat wudu yang terdapat di
sisi utara dan selatan. Pada bagian barat terdapat sekatan yang membentuk kamar
atau ribath (tempat tinggal pengurus masjid) berukuran 4,5 × 3 m². Ribath
tersebut memiliki pintu dari arah timur berukuran 225 cm × 90 cm dan jendela
berukuran 90 cm × 90 cm. Serambi muka berbentuk persegi panjang berukuran 12 ×
39 m² serta memiliki enam pintu dari arah timur dan dua pintu dari arah utara
dan selatan, yang masing-masing berdaun pintu dari jeruji besi. Terdapat hiasan
tiang ganda semu pada enam pintu dari arah timur, kecuali pada bagian tengah
yang merupakan bangunan mimbar yang menjorok ke depan dengan daun pintu dari
jeruji pula. Mimbar berukuran 220 cm × 120 cm × 275 cm tersebut hanya digunakan
pada pelaksanaan salat Ied. Selain pintu, juga terdapat masing-masing satu
jendela dengan terali besi di sisi utara dan selatan. Di dinding timur serambi
muka, terdapat hiasan ukiran geometri berupa panil-panil yang berbentuk persegi
panjang dan bujur sangkar.Terdapat pula hiasan lengkung yang ditutupi tembok
dengan motif cincin dan mata kapak. Tebal dinding sekitar 34 cm dengan tinggi
320 cm.
Tiang
ganda berbentuk silinder yang berjejer tujuh di serambi muka
-----------------------------------
Di
dalam ruangan terdapat tujuh tiang ganda berbentuk silinder dari beton dengan
garis tengah 45 cm. Tiang-tiang tersebut berdiri di atas umpak beton dengan
lebar 113 cm, tinggi 70 cm, dan tebal 67 cm. Selain itu, terdapat pula dua
tiang berbentuk segi empat yang terletak di sisi utara dan selatan, dekat
dengan ruangan berbentuk segi delapan yang memiliki satu pintu dari arah timur
dan satu jendela. Ruang utama masjid berbentuk persegi berukuran 30 × 30 meter
persegi dengan empat pintu masuk di sisi timur dan masing-masing dua pintu di
sisi utara dan selatan. Pintu berukuran 160 cm × 264 cm tersebut memiliki dua
daun pintu dari kayu dengan hiasan lengkung kipas pada ambang atas. Terdapat
pula dua jendela yang terbuat dari kayu di sisi timur mengapit pintu masuk, dan
masing-masing tiga jendela di sisi utara dan selatan, serta enam jendela di
sisi barat. Jendela-jendela tersebut memiliki panjang 160 cm dan tinggi 2 m.
Seperti pada pintu, bagian ambang atas jendela juga berbentuk lengkung kipas.
Dinding pada ruang utama terbuat dari beton berlapis keramik, sedangkan
lantainya dari tegel putih berhiaskan bunga. Di ruang utama juga, terdapat soko
guru atau tiang utama berjumlah 25 yang berbentuk segi enam dengan diameter 40
sampai 50 cm dan tinggi mencapai 420 cm.Tiang-tiang yang terbuat dari bata
merah dengan bahan perekat kapur dicampur putih telur ini sama sekali tidak
menggunakan tulang besi. Jumlah 25 tiang berjajar 5 melambangkan 25 nabi, dan
masing-masing tiang dilapisi marmer putih berhiaskan kaligrafi yang memuat nama
25 nabi mulai dari Adam sampai Muhammad. Tiang-tiang tersebut berfungsi sebagai
penopang utama konstruksi atap masjid yang berbentuk segi delapan. Pada sisi
barat ruang utama terdapat mihrab yang diapit oleh dua kamar di sisi utara dan
selatan. Mihrab tersebut berukuran 2 m × 1,5 m dengan tinggi pada sisi timur 320
cm dan sisi barat 210 cm.
Langit-langit
masjid di ruang utama disangga oleh 25 tiang, sama seperti jumlah nabi dan
rasul.
-------------------------
Bangunan
lain
Masjid
ini memiliki tempat wudu berukuran 10 m × 3 m yang terletak di sebelah utara
dan selatan serambi samping. Tempat wudu ini dibangun pada tahun 1967 serta
dibuat permanen dan tertutup. Selain itu, perpustakaan masjid menempati sebuah
ruangan di sisi utara masjid dan masih menyatu dengan bangunan masjid. Di
sekitar masjid juga terdapat tiga gedung tempat bimbingan teori manasik calon
haji. Salah satu dari tiga gedung tersebut dulunya ditempati sekolah Thawalib.